PENDAHULUAN
Akhir-akhir ini masalah korupsi sedang hangat-hangatnya
dibicarakan publik, terutama dalam media massa
baik lokal maupun nasional. Banyak para ahli mengemukakan pendapatnya tentang
masalah korupsi ini. Pada dasarnya, ada yang pro ada pula yang kontra. Akan
tetapi walau bagaimanapun korupsi ini merugikan negara dan dapat meusak
sendi-sendi kebersamaan bangsa. Pada hakekatnya, korupsi adalah “benalu sosial”
yang merusak struktur pemerintahan, dan menjadi penghambat utama terhadap
jalannya pemerintahan dan pembangunan pada umumnya. Dalam prakteknya, korupsi
sangat sukar bahkan hampir tidak mungkin dapat diberantas, oleh karena sangat
sulit memberikan pembuktian-pembuktian yang eksak. Disamping itu sangat sulit
mendeteksinya dengan dasar-dasar hukum yang pasti. Namun akses perbuatan
korupsi merupakan bahaya latent yang harus diwaspadai baik oleh pemerintah
maupun oleh masyarakat itu sendiri. Korupsi adalah produk dari sikap hidup satu
kelompok masyarakat yang memakai uang sebagai standard kebenaran dan sebagai
kekuasaaan mutlak. Sebagai akibatnya, kaum koruptor yang kaya raya dan para
politisi korup yang berkelebihan uang bisa masuk ke dalam golongan elit yang
berkuasa dan sangat dihormati. Mereka ini juga akan menduduki status sosial
yang tinggi dimata masyarakat. Korupsi sudah berlangsung lama, sejak zaman
Mesir Kuno, Babilonia, Roma sampai abad pertengahan dan sampai sekarang.
Korupsi terjadi diberbagai negara, tak terkecuali di negara-negara maju
sekalipun. Di negara Amerika Serikat sendiri yang sudah begitu maju masih ada
praktek-praktek korupsi. Sebaliknya, pada masyarakat yang primitif dimana
ikatan-ikatan sosial masih sangat kuat dan control sosial yang efektif, korupsi
relatif jarang terjadi. Tetapi dengan semakin berkembangnya sektor ekonomi dan
politik serta semakin majunya usaha-usaha pembangunan dengan
pembukaan-pembukaan sumber alam yang baru, maka semakin kuat dorongan individu
terutama di kalangan pegawai negari untuk melakukan praktek korupsi dan
usaha-usaha penggelapan. Korupsi dimulai dengan semakin mendesaknya usaha-usaha
pembangunan yang diinginkan, sedangkan proses birokrasi relaif lambat, sehingga
setiap orang atau badan menginginkan jalan pintas yang cepat dengan memberikan
imbalanimbalan dengan cara memberikan uang pelican uang sogok). Praktek ini
akan berlangsung terus menerus sepanjang tidak adanya kontrol dari pemerintah
dan masyarakat, sehingga timbul golongan pegawai yang termasuk OKB-OKB (orang kaya
baru) yang memperkaya diri sendiri (ambisi material). Agar tercapai tujuan pembangunan
nasional, maka mau tidak mau korupsi harus diberantas. Ada beberapa cara penanggulangan korupsi,
dimulai yang sifatnya preventif maupun yang represif.
Pengertian Korupsi
- korupsi (bahasa Latin:
corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan,
memutarbalik, menyogok).
- Secara harfiah, korupsi
adalah perilaku pejabat publik, baik politikus, politisi maupun pegawai
negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau
memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik
yang dipercayakan kepada mereka.
- Dalam arti yang luas,
korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk
keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah, pemerintahan rentan korupsi dalam
prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk
penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai
dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi
adalah kleptokrasi,
yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, dimana
pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.
- Banyak para ahli yang
mencoba merumuskan korupsi, yang jka dilihat dari Struktrur bahasa dan cara
penyampaiannya yang berbeda, tetapi pada hakekatnya mempunyai makna yang sama.
Kartono (1983) memberi batasan korupsi sebagi tingkah laku individu yang
menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan
kepentingan umum dan negara. Jadi korupsi merupakan gejala salah pakai dan
salah urus dari kekuasaan, demi keuntungan pribadi, salah urus terhadap
sumber-sumber kekayaan negara dengan menggunakan wewenang dan kekuatankekuatan
formal (misalnya denagan alasan hukum dan kekuatan senjata) untuk memperkaya
diri sendiri. Korupsi terjadi disebabkan adanya penyalahgunaan wewenang dan
jabatan yang dimiliki oleh pejabat atau pegawai demi kepentingan pribadi dengan
mengatasnamakan pribadi atau keluarga, sanak saudara dan teman. Wertheim (dalam
Lubis, 1970) menyatakan bahwa seorang pejabat dikatakan melakukan tindakan
korupsi bila ia menerima hadiah dari seseorang yang bertujuan mempengaruhinya
agar ia mengambil keputusan yang menguntungkan kepentingan si pemberi hadiah.
Kadang-kadang orang yang menawarkan hadiahdalam bentuk balas jasa juga termasuk
dalam korupsi. Selanjutnya, Wertheim menambahkan bahwa balas jasa dari pihak
ketigayang diterima atau diminta oleh seorang pejabat untuk diteruskan kepada
keluarganya atau partainya/ kelompoknya atau orang-orang yang mempunyai
hubungan pribadi dengannya, juga dapat dianggap sebagai korupsi. Dalam keadaan
yang demikian, jelas bahwa ciri yang paling menonjol di dalam korupsi adalah
tingkah laku pejabat yang melanggar azas pemisahan antara kepentingan pribadi
dengan kepentingan masyarakat, pemisaham keuangan pribadi dengan masyarakat.
Korupsi
yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele atau berat,
terorganisasi atau tidak. Walau korupsi sering memudahkan kegiatan kriminal
seperti penjualan narkotika, pencucian uang, dan prostitusi, korupsi itu
sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini saja. Untuk mempelajari masalah ini
dan membuat solusinya, sangat penting untuk membedakan antara korupsi dan
kriminalitas kejahatan. Tergantung dari negaranya atau wilayah hukumnya, ada
perbedaan antara yang dianggap korupsi atau tidak. Sebagai contoh, pendanaan partai politik ada yang legal di satu
tempat namun ada juga yang tidak legal di tempat lain.
Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis
besar mencakup unsur-unsur sebagai berikut:
perbuatan melawan hukum;
penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana;
memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi;
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;
Selain itu terdapat beberapa jenis tindak pidana korupsi yang
lain, di antaranya:
memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan);
penggelapan dalam jabatan;
pemerasan dalam jabatan;
ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara
negara);
menerima gratifikasi (bagi pegawai
negeri/penyelenggara negara).
Kondisi
yang mendukung munculnya korupsi
Konsentrasi kekuasan di pengambil keputusan yang tidak
bertanggung jawab langsung kepada rakyat, seperti yang sering terlihat di
rezim-rezim yang bukan demokratik.
Kurangnya transparansi di pengambilan keputusan
pemerintah
Kampanye-kampanye politik yang mahal, dengan pengeluaran lebih
besar dari pendanaan politik yang normal.
Proyek yang melibatkan uang rakyat dalam jumlah besar.
Lingkungan tertutup yang mementingkan diri sendiri dan
jaringan "teman lama".
Lemahnya ketertiban hukum.
Lemahnya profesi hukum.
Kurangnya kebebasan berpendapat atau
kebebasan media massa.
Gaji pegawai pemerintah yang sangat kecil.
mengenai kurangnya gaji atau pendapatan pegawai negeri
dibanding dengan kebutuhan hidup yang makin hari makin meningkat pernah di
kupas oleh B Soedarsono yang menyatakan antara lain " pada umumnya orang
menghubung-hubungkan tumbuh suburnya korupsi sebab yang paling gampang
dihubungkan adalah kurangnya gaji pejabat-pejabat....." namun B Soedarsono
juga sadar bahwa hal tersebut tidaklah mutlak karena banyaknya faktor yang
bekerja dan saling memengaruhi satu sama lain. Kurangnya gaji bukanlah faktor
yang paling menentukan, orang-orang yang berkecukupan banyak yang melakukan
korupsi. Namun demikian kurangnya gaji dan pendapatan pegawai negeri memang
faktor yang paling menonjol dalam arti merata dan meluasnya korupsi di Indonesia, hal ini dikemukakan oleh Guy J Parker
dalam tulisannya berjudul "Indonesia
1979: The Record of three decades (Asia Survey Vol. XX No. 2, 1980 : 123).
Begitu pula J.W Schoorl mengatakan bahwa " di Indonesia di bagian pertama
tahun 1960 situasi begitu merosot sehingga untuk sebagian besar golongan dari
pegawai, gaji sebulan hanya sekadar cukup untuk makan selama dua minggu. Dapat
dipahami bahwa dalam situasi demikian memaksa para pegawai mencari tambahan dan
banyak diantaranya mereka mendapatkan dengan meminta uang ekstra untuk
pelayanan yang diberikan". ( Sumber buku "Pemberantasan Korupsi karya
Andi Hamzah, 2007)
Rakyat yang cuek, tidak tertarik, atau mudah dibohongi yang
gagal memberikan perhatian yang cukup ke pemilihan umum.
Ketidakadaannya kontrol yang cukup untuk mencegah penyuapan
atau "sumbangan kampanye".
Sebab-sebab
korupsi
Ada beberapa
sebab terjadinya praktek korupsi. Singh (1974) menemukan dalam penelitiannya
bahwa penyebab terjadinya korupsi di India adalah kelemahan moral
(41,3%), tekanan ekonomi (23,8%), hambatan struktur administrasi (17,2%),
hambatan struktur sosial (7,08 %). Sementara itu Merican (1971) menyatakan
sebab-sebab terjadinya korupsi
adalah sebagai berikut :
a. Peninggalan pemerintahan kolonial.
b. Kemiskinan dan ketidaksamaan.
c. Gaji yang rendah.
d. Persepsi yang populer.
e. Pengaturan yang bertele-tele.
f. Pengetahuan yang tidak cukup dari bidangnya.
Di sisi lain Ainan (1982) menyebutkan beberapa sebab
terjadinya korupsi
yaitu :
a. Perumusan perundang-undangan yang kurang sempurna.
b. Administrasi yang lamban, mahal, dan tidak luwes.
c. Tradisi untuk menambah penghasilan yang kurang dari pejabat
pemerintah dengan upeti atau suap.
d. Dimana berbagai macam korupsi dianggap biasa, tidak
dianggap bertentangan dengan moral, sehingga orang berlomba untuk korupsi.
e. Di India, misalnya menyuap jarang dikutuk selama menyuap
tidak dapat dihindarkan.
f. Menurut kebudayaannya, orang Nigeria Tidak dapat menolak
suapan dan korupsi, kecuali mengganggap telah berlebihan harta dan kekayaannya.
g. Manakala orang tidak menghargai aturan-aturan resmi dan
tujuan organisasi pemerintah, mengapa orang harus mempersoalkan korupsi.
Dari pendapat para ahli diatas, maka dapat disimpulkan bahwa
sebab-sebab
terjadinya korupsi adalah sebagai berikut :
1. Gaji yang rendah, kurang sempurnanya peraturan
perundang-undangan,
administrasi yang lamban dan sebagainya.
2. Warisan pemerintahan kolonial.
3. sikap mental pegawai yang ingin cepat kaya dengan cara yang
tidak halal, tidak
ada kesadaran bernegara, tidak ada pengetahuan pada bidang
pekerjaan yang
dilakukan oleh pejabat pemerintah.
Dampak
negatif
- Demokrasi
Korupsi menunjukan tantangan serius terhadap pembangunan. Di
dalam dunia politik, korupsi mempersulit demokrasi
dan tata pemerintahan yang baik (good governance) dengan cara menghancurkan
proses formal. Korupsi di pemilihan umum dan di badan legislatif mengurangi
akuntabilitas dan perwakilan di pembentukan kebijaksanaan; korupsi di sistem
pengadilan menghentikan ketertiban hukum; dan korupsi di pemerintahan publik
menghasilkan ketidak-seimbangan dalam pelayanan masyarakat. Secara umum,
korupsi mengkikis kemampuan institusi dari pemerintah, karena pengabaian
prosedur, penyedotan sumber daya, dan pejabat diangkat atau dinaikan jabatan
bukan karena prestasi. Pada saat yang bersamaan, korupsi mempersulit legitimasi
pemerintahan dan nilai demokrasi seperti kepercayaan dan toleransi.
- Ekonomi
Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi
dan mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan. Korupsi juga mempersulit
pembangunan ekonomi
dengan membuat distorsi dan ketidak efisienan yang tinggi. Dalam sektor
private, korupsi meningkatkan ongkos niaga karena kerugian dari pembayaran ilegal, ongkos
manajemen dalam negosiasi dengan pejabat korup, dan risiko pembatalan
perjanjian atau karena penyelidikan. Walaupun ada yang menyatakan bahwa korupsi
mengurangi ongkos (niaga) dengan mempermudah birokrasi, konsensus yang baru
muncul berkesimpulan bahwa ketersediaan sogokan menyebabkan pejabat untuk
membuat aturan-aturan baru dan hambatan baru. Dimana korupsi menyebabkan
inflasi ongkos niaga, korupsi juga mengacaukan "lapangan perniagaan".
Perusahaan yang memiliki koneksi dilindungi dari persaingan dan sebagai
hasilnya mempertahankan perusahaan-perusahaan yang tidak efisien.
Korupsi menimbulkan distorsi (kekacauan) di dalam sektor publik dengan
mengalihkan investasi publik ke proyek-proyek masyarakat yang mana sogokan dan
upah tersedia lebih banyak. Pejabat mungkin menambah kompleksitas proyek
masyarakat untuk menyembunyikan praktek korupsi, yang akhirnya menghasilkan
lebih banyak kekacauan. Korupsi juga mengurangi pemenuhan syarat-syarat
keamanan bangunan, lingkungan hidup, atau aturan-aturan lain. Korupsi juga
mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan dan infrastruktur; dan menambahkan
tekanan-tekanan terhadap anggaran pemerintah.
Para pakar ekonomi memberikan pendapat bahwa salah satu faktor
keterbelakangan pembangunan ekonomi di Afrika dan Asia, terutama di Afrika,
adalah korupsi yang berbentuk penagihan sewa yang
menyebabkan perpindahan penanaman modal (capital investment) ke luar
negeri, bukannya diinvestasikan ke dalam negeri (maka adanya ejekan yang sering
benar bahwa ada diktator Afrika yang memiliki rekening bank di Swiss). Berbeda sekali
dengan diktator Asia, seperti Soeharto
yang sering mengambil satu potongan dari semuanya (meminta sogok), namun lebih
memberikan kondisi untuk pembangunan, melalui investasi infrastruktur,
ketertiban hukum, dan lain-lain. Pakar dari Universitas
Massachussetts memperkirakan dari tahun 1970 sampai 1996, pelarian
modal dari 30 negara sub-Sahara berjumlah US
$187 triliun, melebihi dari jumlah utang luar negeri mereka sendiri. (Hasilnya, dalam artian pembangunan (atau
kurangnya pembangunan) telah dibuatkan modelnya dalam satu teori oleh ekonomis Mancur Olson). Dalam kasus
Afrika, salah satu faktornya adalah ketidak-stabilan politik, dan juga
kenyataan bahwa pemerintahan baru sering menyegel aset-aset pemerintah lama
yang sering didapat dari korupsi. Ini memberi dorongan bagi para pejabat untuk
menumpuk kekayaan mereka di luar negeri, di luar jangkauan dari ekspropriasi di masa
depan.
- pendapat beberapa ahli
Nye menyatakan bahwa dampak negative/akibat-akibat korupsi
adalah :
1. Pemborosan sumber-sumber, modal yang lari, gangguan
terhadap penanaman modal, terbuangnya keahlian, bantuan yang lenyap.
2. ketidakstabilan, revolusi sosial, pengambilan alih
kekuasaan oleh militer, menimbulkan ketimpangan sosial budaya.
3. pengurangan kemampuan aparatur pemerintah, pengurangan
kapasitas administrasi, hilangnya kewibawaan administrasi.
Selanjutnya Mc Mullan (1961) menyatakan bahwa akibat korupsi
adalah ketidak efisienan, ketidakadilan, rakyat tidak mempercayai pemerintah, memboroskan
sumber-sumber negara, tidak mendorong perusahaan untuk berusaha terutama
perusahaan asing, ketidakstabilan politik, pembatasan dalam kebijaksanaan
pemerintah dan tidak represif. Berdasarkan pendapat para ahli di atas, maka
dapat disimpulkan akibat akibat korupsi diatas adalah sebagai berikut :
1. Tata ekonomi seperti larinya modal keluar negeri, gangguan
terhadap perusahaan, gangguan penanaman modal.
2. Tata sosial budaya seperti revolusi sosial, ketimpangan
sosial.
3. Tata politik seperti pengambil alihan kekuasaan, hilangnya
bantuan luar negeri, hilangnya kewibawaan pemerintah, ketidakstabilan politik.
4. Tata administrasi seperti tidak efisien, kurangnya
kemampuan administrasi, hilangnya keahlian, hilangnya sumber-sumber negara,
keterbatasan kebijaksanaan pemerintah, pengambilan tindakan-tindakan represif.
Secara umum akibat korupsi adalah merugikan negara dan merusak
sendisendi kebersamaan serta memperlambat tercapainya tujuan nasional seperti
yang tercantum dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945.
Kesejahteraan
umum negara
Korupsi politis ada di banyak negara, dan memberikan ancaman
besar bagi warga negaranya. Korupsi politis berarti kebijaksanaan pemerintah
sering menguntungkan pemberi sogok, bukannya rakyat luas. Satu contoh lagi
adalah bagaimana politikus membuat peraturan yang melindungi perusahaan besar,
namun merugikan perusahaan-perusahaan kecil (SME). Politikus-politikus
"pro-bisnis" ini hanya mengembalikan pertolongan kepada perusahaan
besar yang memberikan sumbangan besar kepada kampanye pemilu mereka.
Bentuk-bentuk
penyalahgunaan
Korupsi mencakup penyalahgunaan oleh pejabat pemerintah seperti
penggelapan dan nepotisme,
juga penyalahgunaan yang menghubungkan sektor swasta dan pemerintahan seperti penyogokan, pemerasan, campuran tangan, dan penipuan.
Penyogokan:
penyogok dan penerima sogokan
Korupsi memerlukan dua pihak yang korup: pemberi sogokan
(penyogok) dan penerima sogokan. Di beberapa negara, budaya penyogokan mencakup
semua aspek hidup sehari-hari, meniadakan kemungkinan untuk berniaga tanpa
terlibat penyogokan.
Negara-negara yang paling sering memberikan sogokan pada
umumnya tidak sama dengan negara-negara yang paling sering menerima sogokan.
Dua belas negara yang paling minim korupsinya,
menurut survey persepsi (anggapan ttg korupsi oleh rakyat) oleh Transparansi
Internasional di tahun 2001 adalah sebagai berikut:
Menurut survei persepsi korupsi , tigabelas negara
yang paling korup adalah:
Namun demikian, nilai dari survei tersebut masih diperdebatkan
karena ini dilakukan berdasarkan persepsi subyektif dari para peserta survei
tersebut, bukan dari penghitungan langsung korupsi yg terjadi (karena survey
semacam itu juga tidak ada).
Tuduhan
korupsi sebagai alat politik
Sering terjadi dimana politisi mencari cara untuk mencoreng lawan mereka
dengan tuduhan korupsi. Di Republik Rakyat Cina, fenomena ini
digunakan oleh Zhu Rongji, dan yang terakhir, oleh Hu Jintao
untuk melemahkan lawan-lawan politik mereka.
Selain itu di arena politik, sangatlah sulit untuk membuktikan
korupsi, namun lebih sulit lagi untuk membuktikan ketidakadaannya. Maka dari
itu, sering banyak ada gosip menyangkut politisi.
Politisi terjebak di posisi lemah karena keperluan mereka
untuk meminta sumbangan keuangan untuk kampanye mereka. Sering mereka terlihat
untuk bertindak hanya demi keuntungan mereka yang telah menyumbangkan uang,
yang akhirnya menyebabkan munculnya tuduhan korupsi politis.
Mengukur
korupsi
Mengukur korupsi - dalam artian statistik, untuk membandingkan
beberapa negara, secara alami adalah tidak sederhana, karena para pelakunya
pada umumnya ingin bersembunyi. Transparansi Internasional, LSM terkemuka di bidang
anti korupsi, menyediakan tiga tolok ukur, yang diterbitkan setiap tahun: Indeks Persepsi Korupsi (berdasarkan dari
pendapat para ahli tentang seberapa korup negara-negara ini); Barometer Korupsi
Global (berdasarkan survei pandangan rakyat terhadap persepsi dan pengalaman
mereka dengan korupsi); dan Survei Pemberi Sogok, yang melihat seberapa rela
perusahaan-perusahaan asing memberikan sogok. Transparansi Internasional juga
menerbitkan Laporan Korupsi Global; edisi tahun 2004
berfokus kepada korupsi politis. Bank Dunia
mengumpulkan sejumlah data
tentang korupsi, termasuk sejumlah Indikator Kepemerintahan.
Upaya
penanggulangan korupsi.
Korupsi tidak dapat dibiarkan berjalan begitu saja kalau suatu
negara ingin mencapai tujuannya, karena kalau dibiarkan secara terus menerus,
maka akan terbiasa dan menjadi subur dan akan menimbulkan sikap mental pejabat
yang selalu mencari jalan pintas yang mudah dan menghalalkan segala cara (the
end justifies the means). Untuk itu, korupsi perlu ditanggulangi secara tuntas
dan bertanggung
jawab. Ada
upaya penggulangan korupsi yang ditawarkan seorang ahli yang memandang dari
berbagai segi dan pandangan. Myrdal
(dalam Lubis, 1987) memberi saran penaggulangan korupsi yaitu agar pengaturan
dan prosedur untuk keputusan-keputusan administratif yang menyangkut orang
perorangan dan perusahaan lebih disederhanakan dan dipertegas, pengadakan pengawasan
yang lebih keras, kebijaksanaan pribadi dalam menjalankan kekuasaan hendaknya
dikurangi sejauh mungkin, gaji pegawai yang rendah harus dinaikkan dan
kedudukan social ekonominya diperbaiki, lebih terjamin, satuan-satuan
pengamanan termasuk polisi harus diperkuat, hukum pidana dan hukum atas
pejabat-pejabat yang korupsi dapat lebih cepat diambil. Orang-orang yang
menyogok pejabat-pejabat harus ditindak pula. Persoalan korupsi beraneka ragam
cara melihatnya, oleh karena itu cara pengkajiannya pun bermacam-macam pula.
Korupsi tidak cukup ditinjau dari segi deduktif saja, melainkan perlu ditinaju
dari segi induktifnya yaitu mulai melihat masalah praktisnya (practical
problems), juga harus dilihat apa yang menyebabkan timbulnya korupsi.
KESIMPULAN
1. Korupsi adalah penyalahgunaan wewenang yang ada pada
pejabat atau pegawai demi keuntungan pribadi, keluarga dan teman atau
kelompoknya.
2. Korupsi menghambat pembangunan, karena merugikan negara dan
merusak sendi-sendi kebersamaan dan menghianati cita-cita perjuangan bangsa.
3. Cara penaggulangan korupsi adalah bersifat Preventif dan
Represif.
Pencegahan (preventif) yang perlu dilakukan adalah dengan
menumbuhkan dan membangun etos kerja pejabat maupun pegawai tentang pemisahan
yang jelas antara milik negara atau perusahaan dengan milik pribadi,
mengusahakan perbaikan penghasilan (gaji), menumbuhkan kebanggaan-kebanggaan
dan atribut kehormatan diri setiap jabatan dan pekerjaan, teladan dan pelaku
pimpinan atau atasan lebih efektif dalam memasyarakatkan pandangan, penilaian
dan kebijakan, terbuka untuk kontrol, adanya kontrol sosial dan sanksi sosial, menumbuhkan
rasa “sense of belongingness” diantara para pejabat dan pegawai. Sedangkan
tindakan yang bersifat Represif adalah menegakan hukum yang berlaku pada
koruptor dan penayangan wajah koruptor di layar televisi dan herregistrasi
(pencatatan ulang) kekayaan pejabat dan pegawai.
DAFTAR
PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar